Selasa, 21 Februari 2017

REBO WEKASAN; Antara Mitos, Ibadah Dan Dalil

By: Nidhom Subkhi

Tafaqquh.com – Artikel ini kami tulis hari ini, selasa 29 Shafar 1438 dimana sebentar lagi adalah malam rabu terakhir bulan Shafar, orang-orang menyebutnya rebo wekasan. Dan karena rebo wekasan inilah tulisan ini kami persembahkan untuk sahabat tafaqquh. Semoga bisa menambah wawasan ilmu kita dan semoga bermanfaat. Amiin ….

Mitos Wulan Sapar
Sahabat tafaqquh! Bulan shafar atau wulan sapar dalam logat jawa oleh sebagian orang dianggap sebagai bulan yang “sangar” atau naas. Ditempat kami, di desa, hampir tidak ada acara-acara seperti mantu (pesta pernikahan), khitanan, mulai mendirikan rumah atau yang lain. Entahlah, apakah “sepinya” acara seperti ini ada kaitannya dengan mitos bulan shafar atau tidak. Ada juga tradisi membuat bubur khusus untuk anak yang lahir dibulan ini, biasanya disebut “jenang sapar”. Tradisi jenang inipun tak jelas apa maknanya, apa mitosnya. Tradisi ini berjalan begitu saja tanpa ada keyakinan-keyakinan yang menyertainya.

Kilas Balik
Menengok ke masa lalu, ternyata pada masa jahiliyah juga ada sejarah perlakuan khusus terhadap bulan ini. Abu Dawud meriwayatkan dari Muhammad bin Rasyid;
سَمِعْتُ أَنَّ أَهْلَ الْجَاهِلِيَّةِ يَسْتَشْئِمُونَ بِصَفَرٍ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا صَفَرَ
Orang-orang jahiliyah merasa sial dengan dengan datangnya bulan Shafar. Maka Rasulullah ﷺ  berkata, tidak ada shafar”  (Sunan Abu Dawud; 3917, Musnadus Shahabah fil kutubit tis’ah, 6/226)
Dalam Bariqoh Mahmudiyyah, menukil pernyataan al-Qodli al-Baidlowi, disebutkan bahwa dibulan shafar orang-orang Arab menghindarkan diri dari aktifitas besar seperti pernikahan atau memulai perjalanan karena menyangka bahwa bulan shafar adalah bulan yang penuh bencana (katsirud dawahi)[1].
Islam datang dengan membawa ajaran suci, tauhid kepada Allah ﷻ. Islam mengikis habis keyakinan-keyakinan yang “mengganggu” eksistensi Tuhan, mitos-mitos masyarakat yang tidak berdasar, dan segala hal yang diyakini sebagai sebuah kekuatan diluar kekuatan Tuhan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
لَا عَدْوَى وَلَا طِيرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ وَفِرَّ مِنَ الْمَجْذُومِ كَمَا تَفِرُّ مِنَ الْأسَدِ
Tidak ada penyakit menular (dengan sendirinya tanpa takdir Allah), tidak ada ramalan buruk, tidak ada hamah (burung pembawa sial) tidak ada shafar (yang dikeramatkan dan membawa sial). Dan berlarilah dari penderita jadzam (lepra) seperti engkau berlari dari singa” (HR. Bukhori)
Hari Nahas Dalam Al-Qur’an
Ayat al-Qur’an yang dimaksud dalam penjelasan hadits diatas adalah:
إِنَّا أَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ رِيحًا صَرْصَرًا فِي يَوْمِ نَحْسٍ مُسْتَمِرٍّ ﴿القمر: ١٩﴾
Sesungguhnya Kami telah menghembuskan kepada mereka angin yang sangat kencang pada hari nahas yang terus menerus (Al-Qomar: 19)
Mengenai ayat ini, Ibnu Asyur dalam tafsirnya at-Tahrir wat Tanwir ( 13/93, syamila v.3.61 ) menjelaskan; Nahas atau naas berarti bahaya yang besar, kebalikan dari al-Bakht atau keberuntungan menurut pandangan umum. Pada hakikatnya kesialan atau keberuntungan itu tidak ada. Kenikmatan atau kesengsaraan datang silih berganti, ini adalah hal yang wajar. Orang awam menyangka bahwa keberuntungan dan kesialan itu dipengaruhi oleh hal-hal mistis, seperti melihat atau mendengar suara burung tertentu, melakukan sesuatu pada hari-hari tertentu, bulan-bulan tertentu dan lain-lain. Orang Arab menyebutnya thiyroh. Pada masa jahiliyah, ramalan, munculnya fenomena alam tertentu, rasi bintang dan hal-hal mistis lain diyakini dapat membawa keberuntungan atau kesialan. Begittu Islam datang, keyakinan-keyakinan seperti itu dikikis habis. Islam datang menjelaskan bahwa keyakinan-keyakinan tersebut adalah keyakinan yang salah, hanya mitos yang tak patut untuk dipercaya.
Maka, hari-hari nahas yang tersebut dalam al-Qur’an artinya adalah hari-hari yang buruk yang dialami oleh kaum terdahulu dimana Allah mengirimkan adzab kepada mereka karena kedurhakaan mereka kepada Allah. Hari nahas ini terkhusus untuk mereka yang disebut dalam al-Qur’an seperti kaum ‘Ad, karena merekalah yang dikehendaki untuk di adzab oleh Allah. Hari nahas tidak bisa diartikan berlaku untuk setiap tahun karena hal itu berarti setiap hari yang dimaksud semua manusia akan mendapatkan kesialan. Wallahu a’lam.

Hari Rabu Hari Nahas
Ada sebuah hadits yang menggelitik untuk kita kaji. Diriwayatkan oleh Waki’ di dalam al-Ghuror, Ibnu murdawaih, al-Khothib dan Ibnu Abbas (lihat Jam’ul Jawami’: 7, al-Jami’us Shoghir: 1/4)
آخِرُ أَرْبِعَاء فِى الشَّهْرِ يَوْمُ نَحْسٍ مُسْتَمِرّ
Rabu terakhir setiap bulan adalah hari naas yang berlangsung terus
Lafadh hadits ini seakan menunjukkan bahwa hari rabu terakhir setiap bulan adalah hari naas. Apakah memang demikian? Apakah dengan demikian Islam juga mengenal hari naas? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka perlu untuk mengetahui keadaan hadits tersebut baik dari segi sanad maupun matannya.
Dari segi sanad hadits, al-Hafidh al-Munawi menjelaskan bahwa di dalam sanadnya terdapat Maslamah ibn Shalt yang menurut Abu Hatim matrukul hadits. Ibnul Jauzi meyakini hadits ini mawdlu’ sedangkan Ibnu Rajab mengatakan hadits yang tidak shohih.
Jika diandaikan hadits ini shohih maka masih perlu juga untuk memahami kandungan dari matan hadits. Al-Hafidh al-Munawi menjelaskan pengertian matan hadits tersebut[2], beliau mengatakan:
Yang dikehendaki hadits itu adalah bahwa sesungguhnya Allah ﷻ mentakdirkan keburukan hari itu untuk para pelaku maksiat dan orang yang melampaui batas. Turunnya keburukan hari itu seperti halnya turunnya barakah pada malam lailatul qadar atau malam nishfu sya’ban atau semisalnya. Maka, hari itu (rabu) adalah hari naas bagi para pelaku maksiat. Pada hari itu turun kepada mereka atau di dekat tempat tinggal mereka keburukan sebagai uqubah (balasan atas keburukan). Hal ini tidak berarti bahwa hari itu adalah hari pembawa sial hingga banyak pekerjaan ditinggalkan seperti yang banyak dilakukan oleh penduduk Makkah dan Jeddah. Pada hari rabu terakhir mereka meninggalkan pekerjaan-pekerjaan, mereka hanya berdiam diri seperti dalam penjara. Kami tidak mengerti apa sandaran mereka dan mengapa mengkhususkan hari rabu ini diantara hari-hari yang lain.
Kemungkinan lain dari pengertian hadits ini adalah; bahwa yang dimaksud dari hadits tersebut adalah kejadian yang dialami oleh kaum ‘Ad. Beberapa khabar menjelaskan bahwa telah dikirim kepada mereka angin yang dahsyat yang membinasakan mereka, peristiwa ini terjadi pada hari rabu terakhir seperti dijelaskan dalam kitab-kitab tafsir. jadi, yang disampaikan oleh Rasulullah ﷺ adalah penjelasan tentang tafsir yaumu nahsin mustamir yang ada dalam ayat al-Qur’an“.
Dari penjelasan al-Munawi ini kiranya bisa kita ambil sedikit kesimpulan, jika saja hadits ini shohih maka artinya adalah:
  1. Hari rabu adalah hari buruk bagi para pelaku kemaksiatan, kemusyrikan dan kekafiran seperti halnya hari jum’ah adalah hari barokah bagi orang-orang yang bertakwa dan ahli ibadah. Hari rabu terakhir bukanlah hari yang membawa sial, karena sial dan untung murni berada pada kekuasaan Allah.
  2. Hadits ini merupakan tafsir dari ayat al-Qur’an surat al-Qomar:19 berkenaan dengan siksaan Allah yang ditimpakan pada kaum ‘Ad, sehingga kandungan hadits ini tidak berlaku untuk selamanya. Pengertian yang kedua ini kiranya lebih tepat.
Rebo Wekasan
Istilah Rebo wekasan adalah istilah yang popular pada sebagian masyarakat Jawa. Rebo menunjuk makna “hari Rabu” sementara Wekasan menunjuk makna “terakhir”. Jadi, makna Rebo Wekasan adalah “Hari Rabu yang paling akhir”. Rabu terakhir yang di maksud di sini adalah hari Rabu terakhir dibulan Shofar atau Sapar dalam lidah Jawa.
Kepercayaan yang berkembang di sebagian masyarakat adalah; Setiap tahun Allah menurunkan 320.000  bala’/musibah. Bala’ tersebut diturunkan  pada hari Rabu terakhir bulan Shofar, sehingga hari Rabu ini adalah hari yang paling sulit dan rawan dalam tahun tersebut.
Keyakinan tentang hal yang ghoib seperti ini, semestinya hanya diketahui oleh Allah ﷻ. Kita bisa mengetahuinya hanya apabila Allah ﷻ menginformasikannya kepada kita melalui lisan Rasulullah ﷺ. Kenyataannya, tidak ada satupun sumber terpercaya yang menjelaskan hal itu, baik itu hadits -sekalipun dloif- lebih-lebih al-Qur’an.
Allah ﷻ telah berfirman:
قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ [٢٧:٦٥]
Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan. (An-Naml: 65)

Ilham Bukan Hujjah
Kemungkinan, keyakinan seperti tentang rebo wekasan diatas bermula dari adanya sebagian kitab berbahasa arab yang menerangkan hal itu sekaligus merekomendasikan amalan tertentu untuk dilakukan pada hari itu. Hal ini seperti disampaikan oleh ad-Dairobi dalam kitabnya yang fenomenal yaitu al-Mujarrobat al-Kubro sebagaimana dikutip dalam buku NU menjawab; keputusan Bahtsul Masail Syuriyah NU wilayah Jawa Timur, hal. 39:
فائدة أخرى : ذكر بعض العارفين من اهل الكشف والتمكين انه ينزل كل سنة ثلاثمائة وعشرون الفا من البليات وكل ذلك فى يوم الاربعاء الاخر من شهر صفر فيكون فى ذلك اليوم اصعب ايام السنة كلها فمن صلى فى ذلك اليوم اربع ركعات …
“Faedah lain: sebagian orang yang ma’rifat dari ahli kasyaf dan tamkin menyebutkan; setiap tahun diturunkan 320.000 bala’. Semuanya pada hari rabu terakhir dari bulan shafar, maka hari itu menjadi hari paling sulit diantara seluruh hari dalam setahun. Maka barang siapa pada hari itu sholat empat rakaat …. dst”.[3]
Dari sini tampak jelas bahwa pijakan keyakinan sekaligus amaliyahnya “hanya” berdasar kasyaf atau ilham. Bukan bermaksud mengecilkan keberadaan ilham atau kasyaf, namun dalam hal keyakinan dan amaliyah, kasyaf itu tidak bisa dijadikan hujjah. Al-Imam Jalaluddin al-Mahalli menjelaskan dalam jam’ul Jawami’ :
حاشية العطار على شرح الجلال المحلي على جمع الجوامع (2/ 398)
(مَسْأَلَةُ الْإِلْهَامِ إيقَاعُ شَيْءٍ فِي الْقَلْبِ يَثْلُجُ) بِضَمِّ اللَّامِ وَحُكِيَ فَتْحُهَا أَيْ يَطْمَئِنُّ (لَهُ الصَّدْرُ يَخُصُّ بِهِ اللَّهُ تَعَالَى بَعْضَ أَصْفِيَائِهِ وَلَيْسَ بِحُجَّةٍ لِعَدَمِ ثِقَةِ مَنْ لَيْسَ مَعْصُومًا بِخَوَاطِرِهِ) لِأَنَّهُ لَا يَأْمَنُ مِنْ دَسِيسَةِ الشَّيْطَانِ فِيهَا خِلَافًا لِبَعْضِ الصُّوفِيَّةِ فِي قَوْلِهِ إنَّهُ حُجَّةٌ فِي حَقِّهِ أَمَّا الْمَعْصُومُ كَالنَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَهُوَ حُجَّةٌ فِي حَقِّهِ وَحَقِّ غَيْرِهِ إذَا تَعَلَّقَ بِهِمْ كَالْوَحْيِ
Masalah: Ilham ialah meletakkan sesuatu di dalam hati yang membuat hati tenang. Ilham diberikan secara khusus oleh Allah kepada sebagian orang-orang pilihanNya. Ilham bukanlah hujjah karena tidak ada jaminan ma’shum bagi orang yang menerimanya. Ilham juga tidak bisa steril dari bisikan setan. Hal ini berbeda dengan sebagian kalangan shufi yang menyatakan bahwa ilham bisa digunakan hujjah bagi dirinya sendiri. Adapun orang yang ma’shum seperti Nabi maka ilham bisa menjadi hujjah untuk dirinya dan untuk orang lain bila berhubungan dengan orang lain seperti halnya wahyu.         

Sholat Rebo Wekasan
Berdasar pada apa yang ada dalam kitab Mujarrobat di atas, maka untuk menolak bala’ tersebut dilakukan shalat di hari itu. Shalat itulah yang kemudian dinamakan dan popular dengan istilah shalat Rebo Wekasan.  Oleh karena shalat ini dilakukan untuk menolak bala’ maka shalat ini popular juga dengan istilah Shalat Lidaf’il Bala’ (shalat untuk mencegah bala’/musibah). Lalu bagaimanakah hukum melakukan sholat tersebut?
Sholat adalah satu ibadah yang tata cara dan waktunya telah diajarkan oleh Rasulullah ﷺ, maka dari itu tidak dibenarkan membuat tata cara sholat diluar ketentuan yang telah diajarkan oleh Rasulullah ﷺ. Memang benar bahwa Rasulullah ﷺ juga mengajarkan untuk memperbanyak sholat. Bahkan banyak riwayat yang menjelaskan bahwa ketika Beliau ﷺ berhadapan dengan urusan yang besar maka beliau mendirikan sholat. Namun perlu digaris bawahi bahwa sholat yang dimaksud adalah sholat secara mutlak. Bukan sholat dengan niat-niat tertentu dan sebab-sebab tertentu. Jika saja sholat diperbolehkan dengan niat-niat tertentu atau sebab tertentu maka akan banyak sekali sholat yang kita lakukan. Akan ada sholat sunnah hari senin, hari selasa, hari rabu dan seterusnya. Ada sholat turun hujan, sholat karena petir atau bahkan sholat “nyaur utang”.
Berikut adalah penjelasan para ulama’ mengenai sholat-sholat seperti di atas:
حاشية الشبراملسى (7/ 367)
وَلَا تَصِحُّ هَذِهِ الصَّلَوَاتُ بِتِلْكَ النِّيَّاتِ الَّتِي اسْتَحْسَنَهَا الصُّوفِيَّةُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَرِدَ لَهَا أَصْلٌ فِي السُّنَّةِ .
Tidak sah sholat-sholat ini dengan niat-niat yang dianggap baik oleh kalangan shufiyah tanpa adanya dalil di dalam as-sunnah. (Hasyiah Syibro Malisi Hamiys Nihayatul Muhtaj, 7/367, syamila v.3.06)
تحفة المحتاج في شرح المنهاج (7/ 317)
لا تجوز ولا تصح هذه الصلوات بتلك النيات التي استحسنها الصوفية من غير أن يرد لها أصل في السنة نعم إن نوى مطلق الصلاة ثم دعا بعدها بما يتضمن نحو استعاذة أو استخارة مطلقة لم يكن بذلك بأس ،
Tidak diperkenankan dan tidak sah sholat-sholat ini dengan niat-niat yang dianggap baik oleh kalangan shufiyah tanpa adanya dalil di dalam as-sunnah. Namun, jika ia niat sholat secara mutlak (tanpa niat sholat rabu atau daf’il bala’) kemudian ia berdoa setelahnya dengan doa yang mengandung permohonan perlindungan atau istikhoroh maka hal itu tidak berbahaya (boleh). (Tuhafatul Muhtaj Syarhul Minhaj, 7/317)

Penjelasan Hadlratus Syekh Hasyim Asy’ari
Untuk menambah faedah dan keberkahan, baiklah kami sertakan ringkasan penjelasan syekh Hasyim Asy’ari mengenai sholat rebo wekasan dan sholat lain yang semisalnya. Penjelasan ini kami kutip dari buku NU menjawab; keputusan Bahtsul Masail Syuriyah NU wilayah Jawa Timur, hal. 39 – 40:
بسم الله الرحمن الرحيم وبه نستعين على أمور الدنيا والدين وصلى الله على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وسلم.
أورا وناع فيتوا أجاء – أجاء لن علاكوني صلاة ربو وكاسان لن صلاة هدية كاع كاسبوت إع سؤال، كرنا صلاة لورو إيكو ماهو دودو صلاة مشروعة في الشرع لن أورا أنا أصلي في الشرع. والدليل على ذلك خلو الكتب المعتمدة عن ذكرها، كيا كتاب تقريب، المنهاج القويم، فتح المعين، التحرير لن سأ فندوكور كيا كتاب النهاية، المهذب لن إحياء علوم الدين. كابيه ماهو أورا أنا كع نوتور صلاة كع كاسبوت.
“Ora wenang pituwah, ajak-ajak, lan nglakoni sholat Rebo Wekasan lan sholat hadiah kang  kasebut ing su-al kerono sholat loro iku mau dudu sholat masyru’ah fis Syar’i lan ora ono asale fis syar’i”. Waddalilu ala dzalik khuluwwul kutub al-mu’tamadah an dzikriha, kaya kitab taqrib, al-Minhajul Qowim, Fathul Mu’in, at-Tahrir lan kitab sak pendukure kaya kitab an-Nihayah, al-Muhaddzab lan Ihya’ Ulumid din. Kabeh mahu ora ana kang nutur shalat kang kaya kasebut.
“Tidak boleh memberi fatwa, menganjurkan, dan melakukan Shalat Rebo Wekasan dan shalat hadiah sebagaimana tersebut dalam pertanyaan, karena kedua shalat tersebut bukan shalat yang disyariatkan dalam syariat dan tidak ada asalnya dalam syariat. Dalil atas hal ini adalah tidak adanya kitab yang bisa dibuat pegangan seperti Taqrib, Minhajul Qowim, Fathul Mu’in, at-Tahrir dan kitab-kitab yang lebih tinggi seperti an-Nihayah, al-Muhaddzab, dan Ihya’ ulumuddin. Semua kitab-kitab itu tidak ada yang menjelaskan sholat-sholat tersebut”
وقد عرفت أن نقل المجربات الديربية وحاشية الستين لاستحباب هذه الصلاة المذكورة يخالف كتب الفروع الفقهية فلا يصح ولا يجوز الإفتاء بها. لن ماليه حديث كع كاسبات وونتن كتاب حاشية الستين فونيكا حديث موضوع. كتراعان سكع كتاب القسطلاني على البخاري: ويسمى المختلف الموضوع ويحرم روايته مع العلم به مبينا والعمل به مطلقا. انتهى.
“Dan engkau telah mengerti bahwa menukil Mujarrobat ad-Dairobiyah dan Hasyiyatus Sittin untuk mensunnahkan sholat tersebut itu menyelisihi kitab-kitab furu’ fiqih. Maka tidak sah dan tidak boleh berfatwa dengan Mujarrabat. Dan lagi, hadits yang tersebut dalam Hasyiyah Sittin adalah hadits maudlu’. Demikian penjelasan dari kitab kitab al-Qasthalani alal Bukhori.
Dengan demikian tidak boleh meyakini kebenaran mitos yang ada pada rebu wekasan dan tidak boleh melakukan sholat rabu wekasan. Rabu terakhir bulan shafar sama saja dengan hari rabu yang lain dan hari-hari yang lain. Lebih baik kita menambah ibadah dengan ibadah-ibadah yang telah diajarkan oleh baginda Nabi Muhammad ﷺ yang sudah disepakati kesunatannya oleh para ulama’. Karena kesunatan-kesunatan itu sudah cukup banyak, bahkan sangat banyak yang apabila kita lakukan semua bisa jadi waktu kita yang kurang untuk melakukan kesunatan-kesunatan tersebut.
Wallahu a’lam bisshowab
Akhukum fillah
Nidhom Subkhi



 

 

[1] Al-Bariqoh Mahmudiyyah Syarhu Thariqoh Muhammadiyyah; III/469
[2] At-Tanwir Syarh al-Jami’us Shoghir: 1/194
[3] Mujarrobat al-Kubro dikarang oleh Ahmad bin Umar Ad-Dairoby (Wafat tahun 1151 H). Dikalangan pesantren kitab ini disebut-disebut sebagai kitab “dukun”. Sejauh yang penulis ketahui, kitab ini tidak pernah dibaca di pesantren. Ia hanya menjadi bacaan “iseng” para santri, bahkan kebanyakan kiyai melarang santrinya untuk membaca kitab-kitab seperti ini. Rekomendasi yang serupa juga terdapat pada kitab “Kanzu An-Najah Wa As-Surur Fi Al-Ad’iyah Allati Tasyrohu As-Shudur” karangan Abdul Hamid Quds, ‘Al-Jawahir Al-Khoms” karangan Muhammad bi Khothiruddin Al-‘Atthar (wft th 970 H), Hasyiyah As-Sittin dan sebagainya .
Berbagi itu indah!